Kegiatan teroris di Indonesia sudah mulai canggih. Aksi mereka yang awalnya dengan cara-cara konvensional, kini sudah didukung teknologi internet.
Kelompok teroris menggunakan teknologi internet dari mulai menyusun rencana teror, pelatihan, pembiayaan, rekrutmen hingga eksekusi.
"Apalagi sampai saat ini belum ada hukum positif yang dapat secara efektif menjerat orang yang memuat konten kebencian yang ujungnya akan menyuburkan dan melancarkan aksi terorisme," kata Kompol Surya Saputra dalam paparan desertasinya di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Jumat (31/5/2013).
Dalam desertasinya, Surya juga menjelaskan, hampir seluruh aksi terorisme yang terjadi di Indonesia tiga tahun terakhir sudah menggunakan internet. "Mulai kasus penyerangan polisi oleh Tim Hisbah Solo pada 2010 yang dipimpin Sigit Qurdowi, kasus peledakan bom di masjid Mapolres Cirebon oleh Muhammad Syarif pada April 2011, dan rencana peracunan polisi oleh kelompok Santanam dan Ali Miftah di Jakarta pada Juni 2011," paparnya.
Pria yang berdinas di kesatuan Brimob Kedung Halang Bogor itu juga mengatakan, dalam kasus pembunuhan polisi di Polsek Bolo, Bima, oleh Syakban pada Juni 2011 dan kasus perakitan bom di Pesantren Umar bin Khatab pada Juli 2011, pun diatur melalui internet.
Sedangkan, situs yang digunakan untuk rekrutmen seperti di forum jihad di Al Busyro atau Tawbah dan ruang chating di Nahnumuslim, melalui internet.
"Beberapa situs bahkan menyediakan situs jihad berbahasa Indonesia untuk latihan dan strategi perang (cyberparamilitary training). Sehingga orang tak perlu lagi belajar jihad ke Afghanistan atau Filipina. Cukup download saja," tegasnya.
Surya menambahkan, kegiatan pengumpulan dana (fai) juga dilakukan melalui dunia cyber, seperti yang dilakukan oleh Mawan Kurniawan, Rizki Gunawan dan Cahya Fitriyanta pada pertengahan 2011.
Mereka pun berhasil membobol situs speedline dan speedcash hingga mencapai Rp7 miliar. Sebagian dana itu untuk pelatihan para militer di Poso pada 2012 dan pengeboman Gereja Kepunton, Solo pada 2011.